Terkadang aku melihat, rumput di halaman tetangga lebih ramai, lebih hijau, lebih panjang. Tanpa aku melihat, ternyata rumput di rumahku, sekelilingnya ada. Ada di depan rumah, di belakang rumah, di samping rumah, bahkan sampai ke atapnya. Lalu, apalagi alasanku untuk hanya melihat rumput di halaman tetangga? Mungkinkah karena aku kurang syukurnya?

Terkadang aku melihat, senyuman di wajah orang lain lebih indah, lebih megah, lebih mewah, lebih cerah, lebih sumringah, lebih… lebih… aduhai. Tanpa aku melihat, ternyata ada senyuman pada wajah orang-orang yang aku sayangi dan mereka ada di sampingku sepanjang hari. Apakah karena aku kurang memperhatikan semua setiap waktu? Atau, karena aku hanya melihat nun jauh ke sana, tanpa menikmati yang ada di dekatku? Ah, mungkin juga karena aku kurang syukur nya?

Terkadang aku melihat, hanya kebahagiaan yang ada pada orang lain. Padahal tidak begitu juga. Mereka sebenarnya juga merasakan duka, derita, airmata dan bahkan acapkali menangis. Akan tetapi, mereka tidak memperlihatkan derai bulir permata kehidupan saat menepi di pipi. Ketika itu, mereka hanya menghayatinya sendiri. Sedangkan saat bersama, mereka menampakkan wajah penuh keceriaan. Nah, lalu bagaimana denganku? Apakah aku mesti bersuram durja selalu? Bukankah menampakkan wajah cerah berseri saat bertemu dengan saudara adalah lahan ibadah untukku? Ah, mungkin juga karena aku lupa akan syukurku. Kemana semua kini?

Ah, aku. Mungkin benar, aku lupa. Dengan begini, kembali seperti ini, aku menjadi teringat lagi. Aku ingat, bahwa rumput tetangga tidak selalu lebih hijau. Aku ingat, kebahagiaan di wajah mereka bukan berarti tanpa kesedihan di baliknya. Sedangkan keceriaan yang terlihat, bukan pula selalu. Aku belajar tentang semua, kini. Aku ingat untuk menempatkan diri, lagi. Kapan ku hendak bermuram durja, aku ingat tentang syukurku. Supaya, senyuman indah kembali mengembang di pipiku, meski hatiku pilu. Dan mereka bilang, senyuman dalam duka seperti itu adalah yang terbaik untuk menjadi lahan pahala. Karena kita tidak menampakkan kesedihan, namun membawa binar ceria pun menebar di pipi orang lain yang melihat kita. Bukankah, senyuman itu menular? Senyuman satu ke senyuman lainnya adalah mata rantai kebahagiaan. Maka, tersenyumlah kawan, senyuman yang engkau bawa dari relung hatimu terdalam. Senyuman yang engkau bagikan, untuk menjadi lahan pahala bagimu, senyuman yang membahagiakan.

Ya, tersenyumlah tanpa beban. Tersenyumlah dengan ringan, lebih lembut, dan tidak ada yang engkau emban. Tersenyumlah…. ya, begitu. []

🙂 🙂 🙂

Ayo mengabadikan kisah persahabatan kita dalam tulisan ^_^

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai