Dalam bahasa Minang, mangamek artinya tersenyum manis. Aku menjadikannya sebagai judul dalam catatan terkini, terinspirasi olehmu. Engkau yang bertemu denganku dalam perjalanan ini, ya di sini.

Tentang mangamek, aku teringat dengan seorang kawan lainnya. Kawan yang juga bertemu denganku sebelumnya, namun bukan di jalan ini. Kami bertemu di dunia sebenarnya. Beliau yang pertama kali bertemu denganku ketika itu, bilang begini, “Duh, kameknyo adiak ko lai” (artinya lebih kurang adik ini terlihat ‘cantik’ dengan senyuman manisnya). Aku pun melirik pada beliau. Lirikan untuk kesekian kalinya. Lirikan sebagai tanda tanya. Apakah ku memang secantik yang ku dengar?

Aku bertanya sendiri, tanpa suara. Tanya yang ku jawab sendiri juga. Tanya yang mengajakku mengembangkan senyuman di pipi untuk ke sekian kalinya. Senyuman yang tanpa ku sadari, ternyata sudah ku bagikan pada beliau sejak awal. Bahkan sebelum kami berhadapan. Bahkan sebelum kami bersapaan. Bahkan sebelum beliau tahu, aku sedang mendekat ke arah beliau. Senyuman yang ku bagikan begitu saja?

Yap. Tersenyumku karena rindu. Aku rindu dengan masa-masa sebelum kami bertemu. Aku rindu masa-masa menjalani hari dalam sunyi. Aku rindu diriku yang merasa bebas melanjutkan perjalanan ke mana pun aku mau. Aku rindu menjadi diriku yang mudah meluahkan ekspresi kapan pun aku mau. Tanpa mengganggu siapapun dan tanpa merasa ada yang menggangguku. Artinya, aku rindu kemerdekaan versi aku.

Sungguh rindu. Makanya ku tersenyum lagi dan lagi. Senyuman yang ku bagikan, tanpa alasan. Senyuman yang semoga menjadi jalan bagiku untuk kembali. Kembali ke masa-masa penuh kesunyian. Lalu ku merangkai senyuman demi senyuman dengan mudahnya. Tanpa ingat waktu, tanpa mengenal lelah, tanpa henti. Hingga malam hari, sendiri, aku tersenyum juga.

Senyuman yang ku latih dari hari ke hari. Sampai akhirnya, ada yang kurang dari hariku, bila dalam sehari belum tersenyum. Sepertinya, langit hatiku bermendung, tanpa senyuman di pipi.

Berbeda halnya, saat ku menjalani waktu dengan senyuman. Ada-ada saja kemudahan yang ku temukan. Ada-ada juga pintu yang membuka untuk ku masuki ruangnya. Ada saja jalan yang membentang di hadapan untuk ku tapaki. Ada juga senyuman yang ku terima, setelah ku memberi senyuman. Begini yang ku alami, sejauh ini. Menjadi pengalaman untuk ku bagi, melalui catatan pada sore hari ini.

Catatan tentang senyuman yang terinspirasi olehmu kawan. Padamu, ku tersenyum khususnya. Sedangkan pada semesta alam yang ada di dalam kehidupan, ku tersenyum lebih ringan.

Sungguh, impianku menjadi kenyataan, dengan cara begini. Melalui senyuman seperti ini.

Yah, engkau jauh di sana. Tidak terlihat mata namun ada dan suka membagi senyuman pula. Sehingga aku merasakan efek dari senyuman yang engkau bagi. Senyumanmu yang sampai padaku.

Tersenyumnya engkau, sebagai salah satu upaya dalam menikmati perjalanan ini. Perjalanan yang bila menghadapinya dengan senyuman, maka senyuman pula yang akan engkau terima.

Aku percaya tentang hal ini, sejak lama. Tepatnya setelah ku menyadari, bahwa semua masalah pasti berujung. Setiap lelah pasti berlalu. Seluruh letih akan berbayar. Semua airmata yang mengalir akan berubah menjadi senyuman terindah.

Makanya, bila dalam sebuah kesempatan, engkau mendapatiku tanpa senyuman saat menghadapimu kawan, tolong ingatkan aku yaa.

Ya, silakan mengingatkan. Agar dalam duka, aku tidak larut. Semoga ku cepat bangkit dari keterpurukan. Seraya mengangkat wajah dan menghadapkannya ke arah langit. Untuk mengaca diri. Bahwa aku bukan apa-apa dan tidak siapa-siapa, tanpa-Nya, Allah Yang Menguatkan. Dengan demikian, dalam musibah aku tabah. Dalam limpahan anugerah ku tidak pongah. Namun menjadi tahu diri.

Di dunia ini, aku, engkau, kita, tidak pernah sendiri. “Innallaha ma’ana.”

Kelak. Suatu ketika. Saat hidupmu terasa berat, pikiran banyak, hati rindu.

Tersenyumlah, ya mangamek. Bila belum ada yang menemani saat tersenyum, tersenyumlah pada diri sendiri. Engkau akan merasakan manfaatnya.

Tersenyumlah, karena-Nya, bersama ingatan kepada-Nya.

Tersenyumlah, meski engkau belum menatap-Nya, Dia Maha Melihat.

Tersenyumlah, walau airmata bergulir di lembaran pipimu dalam rindunya hatimu.

Tersenyumlah meski berairmata. Ya, begitu. Nuansanya tentu syahdu.

Aku pun pernah begitu. Meski berat, ku bisa kuat menahan rindu. Dalam yakinku, semua pasti berlalu. Dan benar saja. Seiring berputarnya waktu, rindu pun berbuah temu. Aku semakin haru. Airmataku masih berguguran setetes demi setetes. Namun namanya sudah berbeda. Bukan airmata rindu lagi, namun haru.[]

😊😊😊

2 tanggapan

  1. Berarti mengamek dan mengamuk itu berbeda ya.

    Terima kasih untuk ilmunya.

    Suka

    1. Ya, berbeda sangat. πŸ™‚

      Suka

Ayo mengabadikan kisah persahabatan kita dalam tulisan ^_^

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai